
Di dunia sepak bola, ada pemain yang main buat menang. Ada juga yang main buat menang dengan gaya. Javier Pastore adalah salah satunya. Gelandang yang satu ini bukan pemain angka, bukan juga pemain highlight 30 detik. Tapi dia pemain yang bikin lo betah nonton 90 menit full, cuma buat liat satu sentuhan atau umpan terobosan dari dia.
Pastore itu semacam seniman bola. Gaya mainnya santai, effortless, tapi otaknya jalan terus. Lo ngeliat dia lari kayak slow-mo, tapi tau-tau bola nyampe di kaki striker. Dia bukan tipe gelandang pekerja keras, tapi dia kreator yang main pake otak, bukan otot.
Tapi meski punya skill kayak penyihir, karier Pastore nggak selamanya mulus. Banyak cedera, banyak fase “menghilang”, dan dia sempat jadi simbol ekspektasi tinggi yang susah ditebus. Tapi ya, itu dia uniknya. Mau naik, mau turun, gaya mainnya tetap bikin kangen.
Asal-Usul: Rosario, Kota Kelahiran Banyak Jenius Bola
Javier Matías Pastore lahir pada 20 Juni 1989 di Córdoba, Argentina, tapi besar di Rosario—kota yang juga melahirkan Lionel Messi dan Ángel Di María. Dari kecil, Pastore udah keliatan beda. Dia punya teknik alami, kontrol bola yang lembut banget, dan visinya udah kayak pemain senior.
Dia memulai karier di akademi Talleres, dan langsung dikenal sebagai “El Flaco” karena posturnya yang tinggi dan kurus (ngingetin orang ke Riquelme versi slim). Tapi meski posturnya ramping, dia punya keseimbangan dan timing yang gila. Banyak pelatih bilang: “Dia jarang salah ambil keputusan.”
Setelah tampil impresif di Talleres dan Huracán, dia mulai menarik perhatian klub-klub Eropa. Dan bukan klub biasa—bahkan Barcelona dan Milan sempat lirik dia. Tapi Pastore milih jalan yang nggak banyak pemain muda ambil: Palermo, Serie A.
Palermo: Tiba-Tiba Jadi Idola di Italia
Tahun 2009, Pastore pindah ke Palermo, klub Serie A yang saat itu dikenal doyan ambil talenta muda Amerika Selatan. Di bawah asuhan Delio Rossi, Pastore langsung nyetel. Main di belakang striker, dia jadi motor serangan tim.
Gaya mainnya nyantai tapi mematikan. Sentuhan halus, umpan no-look, dan visi ke depan yang selalu ngebuka ruang. Banyak yang bandingin dia sama Kaká atau Riquelme, dan jujur… nggak berlebihan.
Musim terbaiknya di Palermo datang di 2010–2011. Dia bantu tim ke final Coppa Italia dan hampir bawa mereka ke zona Eropa. Total dia cetak 14 gol dalam satu musim—banyak untuk gelandang kreatif di liga seketat Serie A.
Waktu itu, hampir semua klub besar Eropa ngincer dia. Dan akhirnya, dia gabung ke proyek besar yang lagi dimulai di Paris.
Paris Saint-Germain: Pionir Era Sultan, Raja Elegan
Tahun 2011, PSG dibeli oleh Qatar Sports Investments dan mulai ngebangun skuad bintang. Dan siapa rekrutan pertama mereka? Javier Pastore. Dia jadi simbol “era baru” PSG. Harga transfernya saat itu €42 juta—mahal banget buat pemain yang belum banyak dikenal publik mainstream Eropa.
Dan di awal kariernya di Paris, Pastore langsung bikin fans jatuh hati. Dia cetak gol-gol indah, bikin assist absurd, dan main dengan level elegansi yang jarang banget ditemuin di Ligue 1. Banyak fans PSG bilang: “Pastore itu seni, bukan sekadar pemain bola.”
Tapi seiring waktu, PSG mulai belanja besar-besaran—datengin Ibrahimović, Cavani, Di María, Neymar, Mbappé. Dan Pastore mulai kalah saing, bukan karena kualitas, tapi karena sistem. Dia bukan pemain yang cocok buat pressing ketat atau transisi cepat. Dia pemain buat permainan sabar dan membangun dari tengah.
Cedera: Musuh Utama yang Nggak Pernah Kasih Ampun
Satu hal yang paling ngeselin dari karier Pastore? Cedera otot yang nggak kelar-kelar. Tiap kali dia lagi nyetel, lagi dominan, tiba-tiba cedera. Kadang paha, kadang hamstring, kadang betis. Dan setiap comeback, dia butuh waktu lama buat dapet ritme lagi.
Banyak pelatih suka dia, tapi juga frustasi karena availability-nya rendah. Bahkan di PSG, dari 7 musim, cuma 2 musim dia benar-benar fit full.
Cedera ini yang akhirnya bikin kariernya mulai fading out. Tapi meski nggak selalu starter, fans PSG tetap cinta dia. Karena tiap dia main, selalu ada potensi keajaiban.
Timnas Argentina: Penuh Talenta, Tapi Minim Kesempatan
Kalau lo liat permainan Pastore, lo bakal mikir: “Pasti dia jadi langganan timnas Argentina, kan?”
Faktanya? Dia cuma dapet 29 caps. Padahal dia debut dari 2010, bahkan sempat main di Piala Dunia 2010 dan Copa América 2015 (di mana dia jadi starter dan main bagus banget).
Masalahnya adalah, di era itu Argentina punya banjir playmaker: Messi, Di María, Banega, Lamela, Gago, Dybala, sampai Lo Celso. Dan pelatih lebih milih pemain yang bisa bantu pressing dan kerja keras. Dua hal yang bukan keunggulan Pastore.
Tapi tetap aja, tiap dia main buat Albiceleste, dia kasih sesuatu yang beda—ketenangan, flow, dan sentuhan yang jarang dimiliki gelandang lain.
AS Roma dan Petualangan Akhir: Gagal Bersinar Tapi Tetap Profesional
Tahun 2018, setelah bertahun-tahun di PSG, Pastore pindah ke AS Roma. Banyak yang berharap dia bisa “reborn” di Serie A, balik ke liga tempat dia dulu bersinar. Tapi realitanya… gak sesuai harapan.
Cedera lagi-lagi jadi masalah. Dia jarang main penuh, sering banget absen, dan nggak bisa konsisten masuk starting XI. Padahal Roma butuh banget kreator di tengah.
Akhirnya, kontraknya diputus lebih awal. Dia sempat main sebentar di Elche (Spanyol) dan terakhir gabung ke klub Qatar. Tapi rasanya semua fans sepakat: Pastore yang kita cinta udah lama “hilang” karena cedera.
Gaya Bermain: Kalau Elegan Itu Punya Kaki
Ngomongin gaya main Javier Pastore itu kayak ngomongin lukisan impressionist. Lo harus liat secara utuh, bukan potongannya doang.
Dia bukan pemain yang bisa direpresentasikan lewat statistik. Tapi lo bisa liat nilainya dari cara dia bikin ritme tim berubah, dari sentuhan pertamanya, dari bagaimana dia liat ruang sebelum orang lain sadar.
Ciri khas dia:
- Dribble halus tanpa terlihat maksa
- Umpan pendek yang nyelip ke celah sempit
- Punya kontrol bola kaki luar yang khas
- Nggak pernah panik, bahkan di tekanan
Dia kayak pemain jalanan yang diajarin taktik kampus. Klasik, artistik, dan anti-ribut.
Legacy: Lo Nggak Harus Viral Buat Diingat
Pastore bukan pemenang Ballon d’Or. Dia juga bukan pemain dengan koleksi trofi seabrek. Tapi dia ninggalin jejak emosional di hati banyak fans. Bukan karena gol atau assist-nya, tapi karena caranya main bola.
Dia buktiin bahwa dalam sepak bola yang makin cepat dan agresif, masih ada tempat buat pemain yang main dengan ritme sendiri. Dan itu mahal.
Dia mungkin gak optimalin potensinya, tapi dia tetep jadi legenda kultus—pemain yang lo inget bukan karena statistik, tapi karena vibes.
Penutup: Javier Pastore Adalah Bukti Kalau Sepak Bola Itu Bukan Cuma Tentang Angka
Dalam dunia bola yang makin robotik dan kalkulatif, Pastore adalah napas segar. Dia bukan mesin, dia seniman. Bukan worker, tapi kreator. Kariernya mungkin gak sempurna, tapi dia ninggalin kesan mendalam—bahwa gaya main juga bagian dari warisan.
Dan buat lo yang pernah nonton dia di PSG, Palermo, atau Argentina—lo pasti tahu, once you see Pastore on the ball, you know you’re watching something special.
Gracias, El Flaco.